- IAW Beberkan Daftar Tanah Eks PTPN II yang Diperjualbelikan Diduga Melanggar Hukum
 - Kapolda Kepri Sambut Tim BPK RI dalam Pemeriksaan Efektivitas Pengelolaan Keuangan BLU Rumkit Bhayangkara
 - Iskandar Sitorus Kritik Hilangnya 250 Ribu Hektar Aset Negara
 - Dedy Syahputra Diangkat Jadi Wakil Ketua Bidang Perikanan Tangkap HNSI Kepri
 - Gugatan Perkara Tanah Eks HGU PTP II Segera Disidangkan di PN Medan
 - Bupati Resmikan Gedung Baru Dinas Pemadam Kebakaran
 - Polsek Bengkong Gagalkan Pengiriman 4 PMI Ilegal dari Batam
 - Bupati Anambas Lantik PPPK Tahap II Formasi Tahun 2024
 - Pelaku Pembunuhan Pegawai Imigrasi Tarempa Jemput Korban Pukul 2 Dini Hari
 - Seorang Kakek di Bengkong Batam Ditangkap Polisi gegara Nodai Bocah 4 Tahun
 
Iskandar Sitorus Kritik Hilangnya 250 Ribu Hektar Aset Negara 
 
                        		
	                        
Keterangan Gambar : Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Sabtu 1/11/2025.
MELAYUNEWS.COM, MEDAN - Jika tanah bisa berbicara, lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) di Sumatera Utara pasti akan mengungkap kisah pilu kehilangan aset negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Dari total 250.000 hektare tanah yang diwariskan dari masa kolonial Belanda, kini hanya tersisa sekitar 5.873 hektare yang tercatat resmi. Angka ini berarti 97,6 persen tanah negara di kawasan tersebut hilang atau tidak tercatat secara sah.
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), menegaskan bahwa kasus ini merupakan tragedi agraria yang harus menjadi perhatian nasional.
"Tanah bukan sekadar angka di atas kertas, tapi nyawa dan harga diri rakyat. Hilangnya lahan negara ini menunjukkan kegagalan tata kelola yang sangat serius dan perlu diusut tuntas," ujarnya, Sabtu 1/11/2025.
Menurutnya sejarah panjang penguasaan tanah ini berawal dari masa kolonial Belanda, ketika Agrarische Wet 1870 membuka jalan bagi perusahaan Deli Maatschappij dan Senembah Maatschappij menguasai tanah terbaik di Sumatera Timur seluas 250.000 hektare, area yang membentang dari Sungai Ular (Deli Serdang) hingga Sungai Wampu (Langkat). Tanah ini dikenal sebagai pusat produksi tembakau Deli, yang dijuluki "emas coklat" dunia.
Setelah nasionalisasi aset-aset kolonial berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958, tanah tersebut seharusnya beralih menjadi milik negara untuk kesejahteraan rakyat. Namun, kenyataannya berbalik jauh dari harapan. Pasca kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan progresif seperti Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Agr.12/5/14/1951 yang membatasi konsesi perkebunan hanya 125.000 hektare dan Ketetapan Gubernur Sumut No. 36/K/Agr/1951 yang membentuk Kantor Penyelenggara Pembagian Tanah guna redistribusi. SK Menteri Agraria No. 24/HGU/1965 juga menegaskan PPN Tembakau Deli hanya berhak atas sekitar 59.000 hektare, sementara sekitar 191.000 hektare lainnya wajib menjadi objek landreform.
Namun dalam praktiknya, perusahaan perkebunan yang sudah dinasionalisasi justru menguasai tanah rakyat. Operasi “pembersihan garapan” dengan dalih keamanan menyebabkan ribuan petani diusir paksa, pilar batas tanah dipindahkan sepihak oleh pihak perkebunan, dan sekitar 7.000 hektare pertanian rakyat dihapus paksa, seperti ditemukan dalam Tim Penelitian Pilar Batas tahun 1973.
Mahkamah Agung telah berulang kali mengeluarkan putusan yang mendukung hak rakyat dan menegaskan batasan HGU, antara lain Putusan MA No. 327 K/Sip/1976, MA No. 800 K/Sip/1983, MA No. 342 K/Sip/1985, MA No. 1261 K/Pdt/2006, dan MA No. 307 K/TUN/2011. Namun, pemerintah pada masa itu seolah-olah tak mengindahkan putusan-putusan tersebut.
Pada era 1981–1997, penghilangan aset berlangsung sistematis. SK Mendagri No. 44/DJA/1981 dan No. 85/DJA/1984 menetapkan 10.314 hektare sebagai objek landreform, sehingga luas HGU PTPN II seharusnya tinggal 48.685 hektare. Namun, surat resmi Dirut PTPN II tahun 1997 mengungkap pengalihan tanah seluas 5.569 hektare ke pihak ketiga, sementara PTPN II mengajukan permohonan HGU baru seluas 59.796 hektare, melebihi batas yang sah sebesar 16.680 hektare. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut menemukan kelebihan 61.382 hektare yang diduga berasal dari tanah redistribusi milik rakyat. Dengan kata lain, PTPN II menguasai lebih dari dua kali lipat tanah yang seharusnya menjadi haknya.
Pada 2004, Pansus DPR RI mengungkap fakta mengejutkan dalam Keputusan No. 016/RKM/PANSUS TANAH/DPR-RI/2004, antara lain bahwa PTPN II menguasai 62.210,47 hektare, kelebihan 19.093,96 hektare dari alokasi sah. Manipulasi administratif dalam pengajuan perpanjangan HGU dan intimidasi terhadap petani yang mempertahankan tanahnya juga teridentifikasi. Rekomendasi Pansus untuk meneliti ulang proses HGU, mencabut HGU yang tumpang tindih, dan mengambil tindakan hukum terhadap pelaku, sayangnya diabaikan selama 21 tahun.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari tahun ke tahun mengonfirmasi pola pelanggaran berulang: penguasaan tanah oleh pihak ketiga tanpa dasar hukum (2008), pengelolaan aset tidak optimal seluas 1.500 hektare senilai Rp1,8 triliun (2016), inefisiensi pengelolaan tanah 1.243 hektare HGU aktif mangkrak (2021), serta pengalihan hak tanpa tender dengan potensi kerugian Rp3,4 triliun per tahun (2023).
Kini, realitasnya pahit: penguasaan tanah oleh PTPN II menyusut drastis menjadi hanya 5.873 hektare, tersebar di Deli Serdang (2.930 ha), Kota Medan (1.230 ha), Langkat (933 ha), dan Binjai (780 ha), hanya 2,3 persen dari aset awal.
Modus penghilangan aset terbaru melibatkan proyek "Kota Deli Megapolitan" yang diprakarsai Pemkab Deli Serdang melalui Bupati Ashari Tambunan dengan Surat Persetujuan Prinsip tanggal 2 November 2020, di atas lahan eks-HGU yang statusnya masih bermasalah. Bupati Ashari kini sedang disidik Kejati Sumut terkait kasus ini.
Lebih miris, kasus petani Sugiono yang dipanggil polisi atas klaim lahan dari Pemkab, padahal Pemkab mengaku sudah membayar ganti rugi kepada PTPN II tanpa mekanisme Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang benar, memperlihatkan siklus pelanggaran sistemik yang merugikan rakyat kecil.
Iskandar Sitorus juga menyoroti siklus penguasaan sepihak PTPN II atas tanah rakyat, legitimasi administratif dengan sertipikat HGU manipulatif, komersialisasi melalui pengalihan dan perubahan fungsi, ganti rugi fiktif yang merugikan negara, dan petani kecil sebagai tumbal.
"Ini bukan sekadar sengketa pertanahan, tapi sudah menjadi perkara pidana korupsi yang melibatkan aset BUMN dan penyalahgunaan wewenang," tegasnya.
Koordinasi yang buruk antara Polda Sumut dan Kejati Sumut dalam menangani kasus yang sama menimbulkan keraguan akan efektivitas penegakan hukum.
"Jika dua institusi penegak hukum yang seharusnya bersinergi malah tumpang tindih, maka keadilan sulit ditegakkan," tambah Iskandar.
Reforma agraria yang diamanatkan Perpres No. 86 Tahun 2018 belum menunjukkan dampak nyata karena koordinasi data antar instansi masih minim, sinkronisasi kebijakan belum optimal, dan mekanisme redistribusi mandek. Iskandar mendesak pemerintah untuk segera mengimplementasikan rekomendasi DPR, melakukan audit menyeluruh terhadap portofolio tanah PTPN II, serta menjamin transparansi pengelolaan aset negara.
Untuk masyarakat, Iskandar mengingatkan pentingnya dokumentasi bukti kepemilikan tanah dan partisipasi aktif dalam pengawasan proses hukum agar hak-hak rakyat tidak terus dirampas secara sistemik.
"Tanah adalah harga diri dan kehidupan masyarakat. Mari buktikan bahwa hukum mampu berdiri tegak membela yang benar," pungkas Iskandar Sitorus.(HM/pe)

                        			
































_compress99.jpg)












